20130116

Senja Kala Itu


Mendung masih berkelebat. Terasa lembab sampai ke bulu kuduk. Mau hujan. Senja ini masih seperti senja kemarin, hanya saja udaranya lebih menggerahkan. Jalan di depan macet, semua orang terburu-buru untuk pulang. Tambah gerah lagi dengan adanya angkot yang berhenti seenak udel pak sopir yang sedang bekerja.

Kulirik sekitarku. Sepi. Seperti biasanya. Cuma pengangguran sepertiku yang sempat mampir kesini. Oya, ada yang lain disini. Seorang pria dan wanita yang duduk di meja depanku tampak ceria, entah lelucon apa yang dikatakan sang pria, tapi si wanita benar-benar terbahak. Giginya terlihat, ompong di bagian depan. Aku bergidik. Kukira mereka ini sepasang kekasih, daritadi kaki mereka bergesekan di bawah meja, tangan mereka saling tertaut.

Gelisah mulai datang, kutengok jam tanganku. Pukul 17.28!. Secangkir capuccino yang tinggal setengah melirik padaku, merayu untuk segera kuhabiskan. Aku menolak. Belum lagi datang seseorang yang kunanti dari 25 menit yang lalu. Dia tak datang?. Ah, mungkin aku harus menghubunginya, mungkin dia lupa atau tak bisa datang. Kuambil ponsel dari sakuku, kutekan beberapa digit nomor yang sudah kuhafal dari setengah tahun yang lalu. Masih menyambung. Kuambil Djarumku yang sudah hampir habis dari asbak yang berbentuk wanita telanjang. Mesum!. Sambil menunggu panggilan terhubung, kuhisap dalam-dalam batang tembakau ini. Terhubung!. Aku menunggu seseorang disana mengangkatnya. Tak lama kemudian....

" honey, kamu dimana? "
" tunggu sebentar, aku masih di jalan, jalanan macet "
" kamu naik taksi lagi? "
" iya, keburu-buru soalnya, aku baru selesai kelas jam 5 lewat tadi "
" oh, ya sudah, kamu hati-hati ya?! "
" iya..."
" see ya "
" see ya too "

Kuputus panggilan barusan dengan sedikit lega. Kumasukkan lagi ponselku ke tempatnya semula. Pasangan di depanku tadi berdiri, lalu beranjak pergi setelah membayar pesanan mereka tadi. Kulihat sekililing sekali lagi. Sepi!. Hanya aku yang tersisa di cafe ini. Sore ini tak banyak pelanggan yang datang. Kulihat jalanan di depan, menunggu taksi yang dinaiki malaikat kecilku. ah! itu dia. Seorang wanita berperawakan sedang keluar dari pintu belakang. Taksi biru itu pergi. Kuperhatikan langkah demi langkah yang dijejakkan wanita itu, pelan tapi pasti.

Setelah membuka pintu, dia bergegas duduk di depanku.

" udah lama? "
" lumayan... "
" maaf ya, aku telat "
" bukan masalah, apa kabar hari ini? masih banyak tugas? "
" buruk, tadi sempat ada masalah sama dosen di kampus. yah, seperti biasa, kamu gimana? "
" sepi. sangat sepi. Tadi ibu pergi sama bapak seharian, aku jaga rumah. Bolos kerja lagi. Ada masalah apa? "

Belum sempat ia menjawab, seorang pelayan wanita datang, menanyakan pesanan.

" moccacino satu ya mbak! "

Pelayan itu berlalu.

" masalah tugas, aku telat ngumpulinnya "
" ditolak? "
" kamu tahulah ibu Diana gimana... "
" lain kali jangan telat ya! "
" udah bosen dengernya "

Dia memalingkan wajahnya.

" oke, itu hak kamu...., kamu mau ngomong masalah apa? katamu ada hal penting yang ingin kamu bicarakan "

Dia berpaling menatapku, dalam. Sangat dalam.

" aku ga tau mau mulai dari mana "
" langsung intinya saja! aku siap mendengarkan. Kamu ada masalah apa kali ini? "
" kita...."
" ya? ada apa dengan kita? "
" bukan masalahku, tapi masalah kita! "

Aku bingung, terperanjat.

" kita ada masalah? masalah apa? kita baik-baik saja kan?! "

Hening. Suasana menjadi kaku.

" maaf... "
" untuk? jawab dulu "
" hubungan ini tak akan berhasil, maaf... "
" kenapa? maaf, aku masih belum paham "
" kita baik-baik saja kan?! ini becanda kan! "

Aku mencoba tersenyum. Kecut. Tanganku mencoba menggenggam tangannya. Tapi ia menariknya, mendekap kedua tangannya. Menenggelamkan wajahnya dalam-dalam di antara helaian rambutnya yang terurai. Indah. Perlahan ia angkat wajahnya, menatapku dalam-dalam. Sekali lagi. Kedua matanya yang lentik berkaca-kaca.

" aku ga bisa lanjutin semua ini! "
" tapi kenapa? aku ada salah sama kamu? katakan sayang, katakan kalau aku memang ada salah, "

Ia menarik nafasnya dengan sedikit tersengal, perlahan semakin tenang.

" aku ga bisa lagi sama kamu, ini bukan salahmu...."
" bukan salahmu kalau kamu jatuh cinta sama Dia, itu hak kamu. Aku udah nyoba untuk menepis cemburuku, tapi aku ga bisa. Semakin aku menahannya, semakin dalam ia merasuk, luka ini...."
" kamu cemburu sama Dia? udah lama? kenapa kamu ga bilang dari dulu? "
" aku ga mau bikin kamu merasa bersalah karena apa yang kamu rasa..."
" tapi Dia cuma pengisi hari-hariku yang kosong, cuma pengganti waktu kamu sibuk dengan duniamu... "

Pelayan datang dengan secangkir moccacino, lalu berlalu begitu saja. Sial! tak tahu waktu!. Petir di luar menyambar beberapa kali, sebelum akhirnya sang awan tak mampu menahan kristal air yang mulai meleleh, dan akhirnya jatuh dalam jutaan tetes yang berbeda. Gerimis.

" kamu nyalahin aku karena aku sibuk? itu pembenaranmu untuk Dia? "
" maksudku bukan begitu, hey, aku paham dengan segala sibukmu "
" ga! kamu ga pernah paham!, walau Dia cuma pegisi kekosonganku, tapi aku tetap cemburu! "
" tapi ini bukan masalah yang besar kan?! ayolah, kamu ga bisa cemburu hanya karena hal seperti Dia "
" buat aku itu masalah yang besar, David! kamu ga ngerasain itu, ini aku yang merasakannya!           karena Dia kamu sering mengabaikan aku! pengisi kekosongan apanya! harusnya aku turuti perkataan papa waktu beliau melarangku berhubungan denganmu! "
" kamu menyesal berhubungan denganku? kamu menyesali semua mimpi yang sudah kita bangun? janji demi janji..."
" ya! aku menyesal, aku pikir kamu akan berubah setelah berhubungan denganku, dan mengabaikan Dia! tapi ternyata.... "

Perlahan, tanpa suara, tetes demi tetes air matanya jatuh, menuruni lekuk pipinya yang halus. Berirama dengan tetes hujan diluar yang semakin deras. Aku suka hujan diluar. Tapi aku benci hujan didalam. Aku menarik nafas dalam.

" Dia ada sebelum kamu Maria, aku sudah kenal Dia bertahun-tahun lamanya sebelum aku bertemu denganmu. Cinta ini nyata, Maria, untukmu dan Dia! "
" kamu tidak bisa seenaknya membagi cintamu untuk dua hal yang berbeda, David! aku mencintaimu dengan tulus, kamu seorang, yang membuatku memilih meninggalkan orang tuaku. Demi kamu, David, demi kamu! tak ada Dia atau apalah yang lainnya dihatiku...."
" cukup, Maria! aku tahu apa yang sudah kau lakukan untuk kita, tapi Dia adalah nafasku!, Dia penghidupanku, Maria, harusnya kamu paham itu. "
" maaf, David! maaf... "
" hey, aku yang minta maaf, karena aku, kamu lakukan semua hal demi aku..."
" kita tak bisa berhubungan lagi, kita sampai disini, David! hubungan ini gak akan kemana-mana, aku tak melihat hubungan ini memiliki masa depan..."
" Maria, tunggu dulu, kamu ga bisa mutusin ini secara sepihak!. Bagaimana dengan janji kita? mimpi kita? setelah kamu lulus, kita nikah, punya rumah kecil, hidup sederhana dengan banyak anak, berdua sampai tua, sampai anak kita memberikan cucu untuk kita berdua, sampai usia mengambil waktu kita? "
" lupakan aku, David! itu semua tak akan terjadi! hentikan omong kosong ini, David! aku lelah...aku... "

Aku terperangah, kata-kata itu mengalir dengan deras dari bibirnya yang mungil. Sangat berani. Dan tajam. Jiwaku terhentak kali ini.

" Maria!, cukup! "
" jangan membentakku! "
" baiklah, kalau begitu pilih salah satu dari kita. Aku atau Dia?! "
" Maria....aku tak bisa.... "
" jawab, David! aku sudah menyiapkan ini sejak lama! "

Tangannya menghentak meja. Sial!. Kali ini dia sudah keterlaluan, pelayan-pelayan di sudut depan kasir sampai melirik ke arah kami.

" aku bilang jangan membentakku, Maria! "
" kalau begitu cepat jawab, David! "
" baiklah! baiklah!, aku menyerah, ini pilihan yang sulit, Maria. Kamu tahu itu..."

Hening.

" maaf, Maria. Aku tak bisa untuk tidak memilih Dia.... "
" sudah kuduga! ternyata aku memang bukan hal yang berarti dalam hidupmu, David!, harusnya sejak lama aku meninggalkanmu! "

Maria menyeka air matanya dan beranjak tergesa, hendak pergi. Bahkan cangkir moccacino yang ia pesan tadi sama sekali belum tersentuh olehnya.

" Maria, tunggu! Maria! "
" sampai jumpa, David! semoga Dia bisa membuatmu bahagia "

Aku menarik tangannya, seraya berdiri aku menghampirinya, lalu memeluknya. Erat. Sangat erat. Seolah-olah tak akan pernah lepas. Aku hirup parfum di tubuhnya. Sangat harum. Seperti biasanya. Kulonggarkan pelukanku dan kupegang dagunya, ia tak menolak, hanya menunduk. Kuangkat dagunya perlahan. Sebuah ciuman pantas untuknya. Setidaknya untuk terakhir kalinya. Aku kecup bibirnya. Manis. Kami tenggelam dalam duka. Ia tak melawan. Kembali ia terisak. Aku lepas ciuman panjang itu. Dengan perlahan, kubisikkan di telinga mungilnya.

" aku menyayangimu, Maria. Lebih dari yang kau tahu!. Maafkan aku, Maria. Aku hanya duka untukmu. Terima kasih untuk cinta yang kau alirkan di nadiku. Sampai jumpa, Maria. Berbahagialah tanpaku. "

" aku juga menyayangimu, David. Maaf jika aku menghancurkan impianmu. Aku tahu, David, ini sulit, bagiku dan bagimu. Kamu harus tahu itu "

Ia terisak.

" aku tahu, Maria. Aku tahu... "

Lepas. Pelukan itu. Maria beranjak dan berpaling. Perlahan, langkah yang berbeda yang diambilnya kali ini. Kuperhatikan ia dari belakang. Dia tampak cantik hari ini. Meski hanya dari belakang. Wanita dengan setelan jeans dan kaos yang dibalut jaket coklat itu melangkah pergi. Ia pergi, membuka pintu kaca di depanku lalu keluar dari ruang yang pengap ini. Sebuah taksi berhenti di depannya. Ia masuk dengan tergesa, menghindari hujan dengan berpayung tas di atas kepalanya. Taksi itu berlalu di ujung jalan. Lenyap.

Kulihat jam di tanganku, pukul 18. 15. Senja beranjak untuk memanggil malam. Aku tak menyadarinya. Begitu cepat berlalu. Seperti halnya impian yang selama ini kubangun. Kulihat jalan di depan sudah tak macet lagi. Perlahan hujan berhenti, menyisakan bau tanah yang khas. Aku bisa merasakannya dari dalam sini. Kurasakan sesak didadaku. Aku menangis. Jalan di depan melambaikan tangannya ke arahku. Jalan masih panjang, kusesap sisa capuccino di cangkirku. Sial!. Cangkir itu tertawa. Kuhabisi ia sampai tetes terakhir. Kusulut Djarumku yang tinggal sebatang, kuambil dompet, dan ku taruh beberapa lembar uang lima ribu-an di atas meja.

Aku berdiri, beranjak. Saat yang tepat untuk pergi....

-Senja itu kusadari satu hal, bahkan manusia pun boleh terlampaui oleh hal yang tak pernah kita bayangkan. Mungkin-

No comments:

Post a Comment